Senin, 23 Mei 2011

“STUFENBAU TEORI HANS KELSEN DAN TINJAUAN TERHADAP TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANG DI INDONESIA”


BAB I
PENDAHULUAN


A.      LATAR BELAKANG
Pasca reformasi 1998 dan diiringi dengan amandemen konstitusi (UUD 1945) struktur ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan mendasar. Pasalnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga negara tertinggi. MPR sebagai badan perwakilan (legislatif) kedudukannya sejajar dengan lembaga negara (tinggi) lainnya. MPR sejajar dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Presiden dan Wakil Presiden, MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), bahkan kedudukan MPR sejajar dengan KY (Komisi Yudisial) sebagai Lembaga Negara.[i]
Itulah salah satu perubahan mendasar an po dari struktur ketatanegaraan. Perubahan lainnya yang berpengaruh terhadap format ketatanegaraan adalah tentang tata tata urutan peraturan perundang-undangan. Dimana Ketetapan MPR tidak lagi menjadi bagian dari hierarki perundang-undangan karena jenisnya yang bukan bersifat mengatur. Hierarki atau tata urutan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 7 (1), yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda).
Yang menjadi inspirasi hierarki tata urut perundang-undangan di atas adalah seorang pemikir yang bernama Hans Kelsen. Hans Kelsen dilahirkan dari pasangan kelas menengah Yahudi berbahasa Jerman di Prague pada tanggal 11 Oktober 1881. Saat berusia tiga tahun, Kelsen dan keluarganya pindah ke Wina dan menyelesaikan masa pendidikannya. Kelsen adalah seorang agnostis, namun pada tahun 1905 Kelsen pindah agama menjadi Katolik demi menghindari masalah integrasi dan kelancaran karir akademiknya. Namun identitas Kelsen sebagai keturunan Yahudi tetap saja mendatangkan banyak masalah dalam hidupnya. Kelsen pada awalnya adalah pengacara publik yang berpandangan sekuler terhadap hukum sebagai instrument mewujudkan kedamaian. Pandangan ini diinspirasikan oleh kebijakan toleransi yang dikembangkan oleh rezim Dual Monarchy di Habsburg.[ii]
Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari
pemikiran Kelsen sebagai berikut:[iii]
1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut The Pure Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Hierarki tata urutan perundang-undangan adalah kumpulan norma-norma. Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif atau negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Apabila ditinjau dari segi etimologinya, kata norma itu sendiri berasal dari bahasa Latin, sedangkan kaidah atau kaedah berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang berjudul Nomoi biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The Law.[iv] Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab, qo’idah berarti ukuran atau nilai pengukur.
Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud dapat berisi:
(i)    kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibahah, mubah (permittere);
(ii)   anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut sunnah;
(iii) anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut “makruh”;
(iv) perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere); dan
(v)   perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam bahasa Arab disebut “haram” atau larangan (prohibere).[v]
Berlakunya suatu norma senantiasa dapat dikembalikan  kepada berlakunya norm yang lebih tinggi, demikian selanjutnya, sehingga akhirnya sampai pada grundnorm.[vi]
Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) dan yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms). Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subjek yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkannya dengan subjek konkret, pihak, atau individu tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak inilah yang biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
Sementara itu, kaidah hukum individuil selalu bersifat konkret. Kaidah konkret ini ditujukan kepada orang tertentu, pihak, atau subjek-subjek hukum tertentu, atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu.
Sebagai contoh dapat dikemukakan, misalnya, (i) kaidah hukum yang ditentukan oleh pengadilan dalam bentuk putusan (vonnis) selalu berisi hal-hal dan subjek hukum yang bersifat individuil dan konkret, misalnya si A dipidana 10 tahun; (ii) kaidah hukum yang ditentukan oleh pejabat pemerintahan (bestuur), misalnya, si B diberi izin untuk mengimpor mobil bekas, atau si X diangkat menjadi Direktur Jenderal suatu departemen; (iii) kaidah hukum yang dilakukan oleh kepolisian, misalnya, si A ditangkap dan ditahan untuk tujuan penyidikan; atau (iv) kaidah hukum yang ditentukan dalam perjanjian perdata, misalnya, si X berjanji akan membayar sewa rumah yang ditempatinya kepada pemilik rumah.
Keempat contoh di atas jelas menggambarkan sifat kaidah hukum yang bersifat konkret dan individuil (concrete and individual norms) yang sangat berbeda dari sifat kaidah hukum yang umum dan abstrak (general and abstract norms).[vii]
Kelsen mengemukakan “Pure Theory of Law”  yang terjemahannya teori murni tentang hukum (yang murni bukan hukumnya tetapi teorinya), ajarannya yaitu: dalam membuat teori hukum haruslah bersih/murni dari pengaruh unsur-unsur lain.
Murni di sini dimaksudkan tidak dipengaruhi oleh ilmu – ilmu lain, unsur/ajaran–ajaran lain misalnya agama filsafat, sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi dan sebagainya.
Untuk mendukung teori murni tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan kaidah hukum. Keberadaan kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah lebih tinggi dengan demikian kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku berdasarkan kaidah dasar atau grundnorm. [viii]
Berdasarkan uraian itulah penilis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang Teori Hirarki Norma atau Tufenbautheori Hans Kelsen dengan judul: “STUFENBAU TEORI HANS KELSEN DAN TINJAUAN TERHADAP TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANG DI INDONESIA

B. IDENTIFIKASI MASALAH
            Dari rumusan tersebut di atas penulis menarik sekali untuk mengkaji tentang:
1.      Bagaimanakah teori norma menurut Hans Kelsen?
2.      Bagaimana penggunaan Stufenbau Teori Kelsen terhadap Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui:
1.      Untuk mengetahui Teori Norma Hukum Hans Kelsen.
2.      Untuk mengetahui penggunaan Stufenbau Theory Hans Kelsen dalam penerapannya di Indonesia.


BAB II
STUFENBAU TEORI HANS KELSEN DAN TINJAUAN TERHADAP TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANG DI INDONESIA


A.   NORMA
1.    Pengertian Norma
Suatu pernyataan tentang realitas dikatakan benar, karena pernyataan tersebut berhubungan dengan realitas atau karena pengalaman kita menunjukkan kesesuaian dengan relitas tersebut. Suatu norma adalah bukan pernyataan tentang realitas sehingga tidak dapat dikatakan benar atau salah dengan ukuran realitas. Validitas norma tidak karena keberlakuannya. Pertanyaan mengapa sesuatu seharusnya terjadi tidak pernah dapat dijawab dengan penekanan pada akibat bahwa sesuatu harus terjadi, tetapi hanya oleh penekanan bahwa sesuatu seharusnya terjadi.[ix]
            Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahsa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia.[x]
            Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku  seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Setiap norma itu mengandung suruhan-suruhan yang didalam bahasa asingnya disebut dengan das Sollen (ought to be/ought to do).[xi]
            Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral. adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.[xii]

2.    Norma Superior Dan Norma Inferior
Analisis hukum, yang menyingkap karakter dinamis dari sistem normatif dan fungsi norma dasar, juga menunjukan kekhususan lebih lanjut dari hukum, yaitu: Hukum mengatur kriterianya sendiri sepanjang suatu norma hukum menentukan cara norma lain dibuat, dan juga isi dari norma tersebut. Sejak suatu norma hukum adalah valid karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma hukum lain, maka norma terakhir merupakan alasan validitas yang pertama.[xiii]
Hubungan antara norma yang mengatur pembuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial. Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior. Tata Hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan yang lainnya, tetapi suatu hirarki dari norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi. Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang paling tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan.[xiv]

3.        Norma Statis Dan Dinamis
Hans Kelsen mengemukakan adanya dua system norma, yaitu system norma statis (nomostatics) dan system norma dinamik (nomodynamics). Norma statis adalah system yang melihat pada isi suatu norma, dimana suatu norma umum dapat ditarik menjadi  norma khusus, atau norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Contoh dari norma statis  adalah:
-   Dari suatu norma umum yang menyatakana “hendaknya engkau menghormati orang tua  “ dapat ditarik/dirinci norma khusus, seperti kita wajib membantunya kalau orang tua itu dalam keadaan susah, kita harus merawatnya kalau sedang sakit.
Sistem norma yang dinamik adalah suatu system norma yang melihat pada berlakunya suatu norma dari cara pembentukannya dan penghapusannya. Menurut hans kelsen, norma itu berjenjang jenjang dan berlapis-lapis dalam susunan yang hierarkis, dimana norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya pada akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada norma yang paling tinggi yang disebut norma dasar (grundnorm) yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau dari mana asalnya. Norma dasar atau biasa yang disebut grundnorm, basicnorm, atau fundamentalnorm ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak berdasar dan tidak bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlaku secara presupposed, yaitu lebih dahulu ditetapkan oleh masyarakat.[xv]

4.        Norma Hukum Vertikal Dan Horizontal
Dinamika norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma hukum yang vertikal dan dinamika norma hukum yang horizontal. Dinamika norma hukum vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas: dalam dinamika yang vertikal ini norma hukum itu berlaku, berdasar, dan bersumber, pada norma hukum di atasnya, norma hukum di atasnaya berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma hukum yang atasnya lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar norma hukum di bawahnya. Dinamika norma hukum vertikal ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum, yang ada di negara Republik Indonesia: Pancasila sebagai norma dasar negara merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam  Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945, dan seterusnya. Dalam dinamika norma hukum horizontal, suatu norma hukum itu bergeraknya tidak ke atas atau tidak ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma horizontal ini tidak membentuk norma hukum baru akan tetapi  tapi bergerak ke samping karena adanya suatu analogi. Contoh pencurian listrik. Listrik bukanlah suatu benda, tetapi dapat ditafsirkan secara analogi menjadi benda.[xvi]

5.        Norma Hukum Umum dan Individual
Norma hukum dari segi alamat yang dituju (addressat) dapat dibedakan antara norma hulkum umum dan individual. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak dan tidak tertentu. Norma hukum umum sering dirumuskan dengan ‘Barang siapa….’, atau ‘Setiap orang….’, ataupun ‘Setiap warga negara….’ dan sebagainya sesuai dengan addressat yang dituju. Norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan (addressatnya) pada seseorang, beberap orang, atau banyak orang yang telah tertentu sehingga norma hukum yang individual ini biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:[xvii]
- Syafei Bin Muhammad Sukri bertempat tinggal di Jl. Pajajaran Raya No. 1 Jakarta.
- Para pengemudi bis lota jurusan Suta yang beroperasi antara jam 07.00 sampai 08.00 pada tangggal 1 Januari 2011.

6. Norma Hukum Abstrak dan Kongkret
Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum, yang melihat pada perbauatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak kongkret. Norma hukum abstrak mmerumuskan  suatu perbuaan secara abstrak, miusalnya mencuri, membunuh, menebang pohon, dan sebagainya. Sedangkan norma hukum kongkret adalah melihat perbuatan seseorang lebih nyata.[xviii]

7.        Norma Hukum Einmahlig Dan Dauerhaftig
Norma hukum einmahlig adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan ini norma hukum tersebut selesai. Contohnya adalah penetapan seseorang menjadi pegawai.
Norma hukum dauerhaftig adalah norma hukum yang berlaku secara terus-menerus sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru.
Dari pembatasan norma-norma tersebut yang membedakan antara norma hukum umum-individual, norma hukum abstrak – kongkret, serta norma hukum yang satu kali selesai, berlaku terus menerus, maka norma hukum yang termasuk dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah suatu norma hukum yang bersifat umum-abstrak dan berlaku terus menerus, sedangkan norma hukum yang bersifat individual kongkret dan sekali selesai merupakan keputusan yang bersifat penetapan (beschikking). Di samping norma hukum yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling), yaitu yang umum-abstrak dan berlaku terus menerus dan norma hukum yang bersifat menetapkan (beschikking) yaitu yang individual-kongkret dan berlaku sekali saja.

8.        Norma Hukum Tunggal Dan Berpasangan
Norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang berdiri sendiri  dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya hanya merupakan suatu suruhan (das Sollen) tentang bagaimana kita harus bertindak atau bertingkah laku. Contohnya: Presiden memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.
Norma hukum berpasangan terdiri dari norma hukum primer dan sekunder. Norma hukum primer adalah suatu norma hukum yang berisi aturan/patokan bagaimana cara kita harus berprilaku dalam masyarakat. Norma hukum primer ini biasa disebut das Sollen atau disebutkan dengan istilah ‘hendaknya’. Contohnya: ‘hendaknya kamu tidak mencuri’.
Norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma hukum primer tidak dipenuhi. Norma hukum primer ini memberi pedoman bagi penegak hukum untuk bertindak apabila norma hukum primer tidak dipenuhi. Contohnya: ‘….apabila kau membunuh dihukum 15 tahun penjara’.
B. TINGKAT-TINGKAT DALAM TATA HUKUM
1.  Konstitusi Dalam Arti Materiil Dan Formal
            Struktur hierarkis tata hukum suatu negara adalah sebagai berikut: Dipresuposisikan sebagai norma dasar, konstitusi adalah level paling tinggi dalam hukum nasional.[xix] Hans Kelsen mengatakan bahwa konstitusi dalam arti formal adalah suatu dokumen nyata sebagai seperangkat norma hukum yang mungkin diubahanya menurut ketentuan khusus yang dimaksudkan agar perubahan norma ini sulit dilakukan. Konstitusi dalam arti materiil terdiri dari aturan-aturan yang mengatur pembuatan norma hukum umum, khususnya pembuatan undang-undang. Konstitusi formal biasanya juga berisi norma lain, yaitu norma yang bukan merupakan bagian materi konstitusi.[xx] Tetapi hal ini adalah untuk menjaga norma yang menentukan organ dan prosedur legislasi bahwa suatu dokumen nyata yang khusus dirancang dan bahwa perubahan aturan-aturannya dibuat secara khusus lebih sulit. Hal ini karena materi konstitusi adalah dalam bentuk konstitusional yang harus dipisahkan dari hukum biasa. Terdapat prosedur khusus untuk pembuatan, perubahan, dan pencabutan hukum konstitusi.[xxi]
            Berbeda dengan Hans Kelsen, muridnya yang berkenamaan juga yaitu Hans Nawiasky melihat norma tertinggi dalam negara selalu mempunyai kemungkinan mengalami perubahan, baik oleh suatu peristiwa pemberontakan, coup d’etat.[xxii]
            Konstitusi dalam arti formal, khususnya ketentuan yang menentukan bahwa perubahan konstitusi lebih sulit daripada perubahan hukum biasa, adalah mungkin hanya jika terdapat konstitusi tertulis. Terdapat negara yang tidak memiliki meiliki konstitusi tertulis, seperti Inggris, yang berarti tidak ada konstitusi formal. Maka konstitusi memiliki karakter hukum kebiasaan dan tidak ada perbedaan antara konstitusi dengan hukum biasa. Sedangkan konstitusi dalam arti materiil dapat berupa konstitusi tertulis atau tidak tertulis.[xxiii]

2.    Norma Umum Dibuat Berdasarkan Konstitusi: Undang-Undang dan Kebiasaan
            Norma umum yang ditetapkan dengan cara legislasi atau kebiasaan, membentuk suatu tingkatan di bawah konstitusi dalam hirarki hukum. Norma-norma umum ini diaplikasikan oleh organ yang kompeten, khususnya pengadilan dan otoritas administratif. Organ pelaksana hukum harus diinstruksikan sesuai dengan tata hukum, yang juga menentukan prosedur yang harus diikuti organ pada saat mengaplikasikan hukum. Maka norma umum hukum undang-undang atau kebiasaaan memiliki dua fungsi besar, yaitu:
a.       Menentukan organ pelaksana hukum dan prosedur yang harus diikuti;
b.      Menentukan tindakan yudisial dan administratif organ tersebut.
Tindakan inilah yang menciptakan norma individual, yaitu penerapan norma hukum pada kasus nyata.

3. Hukum Konstitusi
            Karena fungsi pengadilan dalam kapasitasnya sebagai organ pelaksana hukum adalah mengaplikasikan norma umum undang-undang atau kebiasaan terhadap kasus konkret, maka pengadilan harus memutuskan apakah norma umum memberikan sanksi kepada perbuatan yang diklaim oleh penuntut sebagai delik, atau diklaim oleh penggugat sebagai delik sipil, dan apakah sanksinya?.
            Pengadilan harus mampu menjawab tidak hanya pertanyaan tentang fakta (quaestio facti) tetapi juga pertanyaan tentang hukum (quaestio Juris), dilakukan dengan menentukan apakah norma umum tersebut yang diaplikasikan adalah valid yang berarti mempertanyakan apakah norma tersebut telah dibuat dengan cara yang ditentukan oleh konstitusi. Fungsi pengadilan ini menonjol khususnya ketika terdapat keraguan apakah perbuatan tergugat atau terdakwa merupakan suatu delik. Pengadilan harus menentukan keberadaan suatu norma tersebut seperti halnya menentukan eksistensi delik. Fungsi menentukan eksisitensi norma umum yang diaplikasikan oleh pengadilan mengimplikasikan pentingnya fungsi penafsiran norma tersebut, yaitu menentukan maknanya.
            Norma konstitusi yang mengatur pembuatan norma umum yang diaplikasikan oleh pengadilan dan organ pelaksana hukum lain adalah bukan norma lengkap yang independen. Norma konstitusi secara intrinsik adalah bagian dari semua aturan hukum yang harus diaplikasikan oleh pengadilan dan organ lain. Maka hukum konstitusi tidak dapat dikutip sebagai suatu contoh norma yang tidak memberikan sanksi. Norma dari materi konstitusi adalah hukum hanya dalam kaitan organiknya dengan norma yang memberikan sanksi yang dibuat berdasarkan norma konstitusi tersebut. Dalam pandangan dinamis pembuatan norma umum ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yaitu konstitusi, diproyeksikan sebagai bagian dari norma yang lebih rendah.

4. Sumber Hukum
            Pembuatan hukum dengan kebiasaan dan Undang-undang sering disebut sebagai dua sumber hukum. Dalam konteks ini, hukum hanya dipahami sebagai norma umum, mengabaikan norma individual yang bagaimanapun juga merupakan bagian dari hukum seperti yang lainnya.
            Sumber hukum adalah ekspresi yang figuratif dan ambigu. Istilah tersebut tidak hanya digunakan untuk menyebut metode pembuatan hukum, yaitu kebiasaan dan legislasi, tetapi juga untuk mengkarakteristikan alasan validitas hukum khususunya alasan paling akhir. Maka norma dasar menjadi dasar hukum. Namun dalam arti yang lebih luas, setiap norma hukum adalah sumber bagi norma yang lainnya,  karena memuat prosedur pembuatan norma atau isi norma yang akan dibuat. Maka setiap norma hukum yang lebih tinggi adalah sumber hukum bagi norma yang lebih rendah. Jadi sumber hukum adalah hukum itu sendiri.

5. Pembuatan dan Pelaksanaan Hukum
            Suatu norma yang mengatur pembuatan norma lain adalah dilaksanakan dalam pembuatan norma lain tersebut. Pembuatan hukum (Law Creating) adalah selalu merupakan pelaksanaan hukum (Law applying).[xxiv] Adalah tidak benar mengklasifikasikan tindakan hukum sebagai tindakan pembuatan hukum dan tindakan pelaksanaan hukum. Normalnya pembuatan hukum dan pelaksanaan hukum terjadi dalam waktu yang sama. Pembuatan norma hukum adalah suatu pelaksanaan dari norma yang lebih tinggi, dan pelaksanaan norma hukum yang lebih tinggi normalnya adalah pembuatan suatu norma yang lebih rendah. Legislasi adalah proses pembuatan hukum menurut konstitusi sehingga juga merupakan pelaksanaan hukum. Pembuatan konstitusi pertama dapat dilihat sebagai suatu pelaksanaan norma dasar. Dengan demikian aktivitas hukum selalu melibatkan baik pembuatan maupun pelaksanaan. Hal ini berlaku baik pada legislatif, pengadilan, maupun organ administratif dalam suatu negara. 

6.. Konflik Antar Norma
Kesesuaian atau ketidak kesesuaian antara keputusan pengadilan dengan  norma umum dan antara undang-undang dengan konstitusi serta jaminan konstitusi yang berkekuatan hukum (res judicata).
            Norma yang lebih tinggi, undang-undang, atau norma hukum kebiasaan, sekurang-kurangnya menetapkan pembentukan dan isi dari norma keputusan pengadilan, yang kedudukannya lebih rendah. Norma yang lebih rendah, bersama-sama dengan norma yang lebih tinggi, termasuk ke dalam tata hukum yang sama hanya jika norma yang lebih rendah bersesuaian dengan norma yang lebih tinggi. Tetapi siapa yang harus menetapkan apakah norma yang lebih rendah sesuai dengan norma yang lebih tinggi , apakah norma khusus dari keputusan pengadilan  sesuai dengan norma umum dari hukum statusta dan hukum kebiasaan? Jawabannya adalah adalah harus ada satu pengadilan tingkat terakhir, yang diberi hak untuk memberikan keputusan akhir tentang perkara tersebut, yakni suatu otorita yang keputusannya tidak dapat dibatalkan atau diubah lagi. Dengan keputusan tertinggi ini, maka perkara menjadi res judicata (berkekuatan hukum) dan konstitusi menghendaki undang-undang sebagai valid hanya selama undang-undang itu belum dibatalkan oleh organ yang berkompeten atau menurut cara yang biasa.
            The unity of the legal order can never be endangered by any contradiction between a higher and a lower norm in the hierarchy of law.[xxv]
            (Kesatuan tata hukum tidak pernah bisa terancam oleh suatu pertentangan antar norma yang lebih tinggi dengan norma yang lebih rendah di dalam hirarkhi hukum).

C.      STUFENBAU THEORY DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA
Teori Hans kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:[xxvi]
1.      Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2.      Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.      Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara.[xxvii]
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.[xxviii]
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban­dingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[xxix]
1)          Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2)          Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3)          Formell gesetz: Undang-Undang.
4)          Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro[xxx]. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm  maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.[xxxi]
Namun, dengan penempatan Pancasila sebagai Staats-fundamentalnorm berarti menempatkannya di atas Undang-Undang Dasar. Jika demikian, Pancasila tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi. Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali konsepsi norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang dibuat oleh Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.
Kelsen membahas validitas norma-norma hukum dengan menggambarkannya sebagai suatu rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara. Jika bertanya mengapa konstitusi itu valid, mungkin dapat menunjuk pada konstitusi lama. Akhirnya mencapai beberapa konstitusi hingga konstitusi pertama yang ditetapkan oleh individu atau semacam majelis. Validitas konstitusi pertama adalah presuposisi terakhir, postulat yang final, di mana validitas semua norma dalam tata aturan hukum bergantung. Dokumen yang merupakan wujud konstitusi pertama adalah konstitusi sesungguhnya, suatu norma mengikat, hanya dalam kondisi dipresuposisikan sebagai valid[xxxii]. Presuposisi inilah yang disebut dengan istilah trancendental-logical pressuposition.
Semua norma hukum adalah milik satu tata aturan hukum yang sama karena validitasnya dapat dilacak kembali, secara langsung atau tidak, kepada konstitusi pertama. Bahwa konstitusi pertama adalah norma hukum yang mengikat adalah sesuatu yang dipreposisikan, dan formulasi preposisi tersebut adalah norma dasar dari tata aturan hukum ini.[xxxiii]
Kalimat terakhir jelas menunjukkan adanya dua hal, yaitu norma dasar adalah presuposisi atas validitas konstitusi pertama. Norma dasar tidak dibuat dalam prosedur hukum oleh organ pembuat hukum. Norma ini valid tidak karena dibuat dengan cara tindakan hukum, tetapi valid karena dipresuposisikan valid, dan dipresuposisikan valid karena tanpa presuposisi ini tidak ada tindakan manusia dapat ditafsirkan sebagai hukum, khususnya norma pembuat hukum.[xxxiv]
Logika Kelsen tersebut sering dipahami secara salah dengan mencampuradukkan antara presuposisi validitas dan konstitusi, manakah yang merupakan norma dasar (grundnorm)?. Hal inilah yang selanjutnya diselesaikan oleh Nawiasky dengan membedakan antara staatsfundamental-norm dengan staatsgrundgesetz atau grundnorm dengan alasan bahwa grundnorm pada dasarnya tidak berubah sedangkan staatsfundamen­talnorm dapat berubah seperti melalui kudeta atau revolusi.[xxxv]
Pendapat Nawiasky tersebut sebenarnya sejalan dengan pandangan Kelsen. Kelsen juga menyatakan bahwa konstitusi memang dibuat sulit untuk diubah karena dengan demikian menjadi berbeda dengan norma hukum biasa.[xxxvi] Selain itu, Kelsen juga menyatakan bahwa suatu tata hukum kehilangan validitasnya secara keseluruhan jika terjadi kudeta atau revolusi yang efektif. Kudeta atau revolusi adalah perubahan tata hukum selain dengan cara yang ditentukan oleh tata hukum itu sendiri. Kudeta atau revolusi menjadi fakta hilangnya presuposisi validitas konstitusi pertama dan digantikan dengan presuposisi yang lain. Tata hukum yang berlaku adalah sebuah tata hukum baru meskipun dengan materi yang sama dengan tata hukum lama[xxxvii].
Berdasarkan uraian antara pandangan Kelsen dan Nawiasky tersebut dapat disimpulkan bahwa staats-fundamentalnorm yang dikemukakan oleh nawiasky adalah presuposisi validitas konstitusi pertama yang dikemukakan oleh Kelsen sebagai norma dasar. Sedangkan staats-grundgesetz-nya Nawiasky adalah konstitusi dalam pandangan Kelsen. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm atau me-rupakan bagian dari konstitusi? 
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[xxxviii]
Gambar Teori Kelsen dan Nawiasky[xxxix]
       Stufentheorie                  Theorie Von Stufenaufbau Der Rechtsordnung






 

GRUNDNORM                                                         STAATS-FUNDAMENTANLNORM


 

NORM                                                                                                                                STAATS-GRUNDGESETZ


 

NORM                                                                                                                               FORMELLGESETZ
                                                                                                                                               
VERORDNUNG
NORM                                                                                                                                       &
                                                                                                                                    AUTONOMESSATZUNG




BAB III
PENUTUP


Teori murni tentang hukumnya, Kelsen mengemukakan teori Stufenbau yaitu mengenai keberlakuan norma hukum. Keberadaan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lebih tinggi, dengan demikian norma konkrit berlaku berdasarkan norma abstrak, sedangkan norma abstrak berlaku berdasarkan norma dasar atau grundnorm. [xl]
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannnya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahsa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia.
            Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tatacara bertingkah laku  seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral. adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.[xli]
Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[xlii]
1.         Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2.         Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.
3.         Formell gesetz: Undang-Undang.
4.         Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Hierarki atau tata urutan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 7 (1), yaitu: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Daerah (Perda).



[i] Sri Soemantri Martosoewignjo, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies dalam Sistem Ketatanegaraan menurut UUD 1945, dalam Siti Sundari Rangkuti “Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Kumpulan Tulisan dalam Rangka Purnabakti, Surabaya, Airlangga Press, 2008, hlm. 197
[ii] Agustin E. Ferraro, “Book Review-Kelsen’s Highest Moral Ideal,” German Law Journal No. 10 (1 October 2002). Yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, Mochamad Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum,  Mahkamah Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, hlm. 1.
[iii] W. Friedmann, Teori & Filasafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal Theory, Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 170.


[iv] Plato, The Laws, translated by: Trevor J. Saunders, (New York: Penguin Books, 2005). Dalam Jimly, Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press. Hlm. 1
[v] Jimly, Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 1-2
[vi] Kelsen, Hans, dalam Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung, Yapemdo, 2000, hlm. 56.
[vii] \Jimly, Asshiddiqie, Op.Cit., hlm. 5-6

[viii] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, Opcit. Cetakan ke empat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 58 – 71
[ix] Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell, 1945
[x] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta, Kanisius, 1998, hlm., 6.
[xi] Kelsen, Hans, Op.Cit, hlm. 35
[xii] Maria Farida Indrati Suprapto, Op.Cit. hlm. 6
[xiii] Kelsen, Hans, Op.Cit, hlm. 123-124
[xiv] Kelsen, Hans, Op.Cit, hlm. 124
[xv] Kelsen, Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 8
[xvi] Kelsen, Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 10
[xvii] Kelsen, Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 11
[xviii] Kelsen, Hans, dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Loc.Cit. hlm. 12
[xix] Rommen, Heinrich A., The Natural Law: A Study in Legal And Social History and Philosophy, Indianapolis, Liberty Fund, 1998 hal.128. dalam Jimly Asshiddiqie, Teori hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hal.111
[xx] Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, Hal.111
[xxi]  Kelsen, Hans, General Theory..., Op.Cit., Hal. 124-125
[xxii]   Astim Riyanto, Op.Cit. hlm. 154
[xxiii] Astim, Riyanto, Ibid, hal.125
[xxiv] Jimly Assiddiqie, Loc.Cit., hal.118
[xxv] Ibid, 162.
[xxvi] A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal., 287.
[xxvii] Ibid.
[xxviii] Ibid., hlm. 359.
[xxix] Ibid.
[xxx] Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, tanpa tahun).
[xxxi] Attamimi, Op Cit., hal. 309.
[xxxii] Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Loc.Cit., hal 115.
[xxxiii] Kelsen, Hans, General Theory of Law and State,  Ibid., hal 115
[xxxiv] Kelsen, Hans, General Theory of Law and State,  Ibid., hal 116
[xxxv] Attamimi, Op Cit., hal. 359.
[xxxvi] Kelsen, Hans, General Theory, Op Cit., hal 124 – 125.
[xxxvii] Kelsen, Hans, General Theory, Op Cit., hal 117.
[xxxviii] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), hal. 63, 69, dan 81. RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 – 129. Dalam http://www.jimly.com/makalah/.../ideologi__pancasila__dan_konstitusi.doc tanggal 10 Juni 2010, hal. 12.
[xxxix] A. Hamid S. Attamimi, Op.Cit, Antara Hlm. 290 – 291.
[xl] Purnadi Purbacaraka dan M Chidir Ali, Disiplin Hukum, Opcit. Cetakan ke empat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hlm. 58 – 71
[xli] Maria Farida Indrati Suprapto, Op.Cit. hlm. 6
[xlii] Ibid.